SELAMAT DATANG

TERIMAHKASIH sudah mampir berkunjung di blog ini...
blog ini saya tulis untuk berbagi pengetahuan terutama untuk bidang Kesehatan Keperawatan karena saya berkecimpung di dunia pendidikan keperawatan,beberapa adalah artikel adalah saduran dari bahan makalah juga tulisan ringkas dari bahan kuliah...
SEMOGA BERMANFAAT

Kamis, 16 Juni 2011

“Jalan itu bernama Los Felidas. Di jalan ini kita berpisah tuk sementara; di sini pula kita berpisah tuk semalamnya.”

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di salah satu ibu kota negara di
Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota.
Ada sebuah kisah Natal yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang
orang hingga hari ini,
Cerita ini dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu
seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi
beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa NATALIA bukan
penduduk asli kota itu, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung
halamannya. Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan
masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, Tidak sampai setahun di
kota itu, mereka sudah kehabisan seluruh uangnya,

Hingga suatu pagi mereka menyadari akan tinggal dimana malam nanti
dengan tidak sepeserpun uang ada dikantong. Padahal mereka sedang
menggendong seorang bayi berumur satu tahun. Dalam keadaan panik dan
putus ASA, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya dan tiba
di sebuah jalan sepi dimana puing-puing dari sebuah toko seperti
memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang
dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami
berkata: "Saya harus meninggalkan kalian sekarang untuk mendapatkan
pekerjaan apapun, kalau tidak malam nanti Kita akan tidur disini."
Setelah itu si ayah  mencium kening bayinya munggil dan merahi bahu sang ibu lalu pergi. Dan ternyata itu adalah kata-kata dan ciumannya yang terakhir karena setelah itu ia tidak pernah kembali. Tak seorangpun
yang tahu dengan pasti kemana pria itu pergi. Tapi beberapa orang
seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.

Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu
kedatangan suaminya. Dan bila malam menjelang ibu dan anaknya tidur
diemperan toko itu. Pada Hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan
susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil tuk menyambng napas kehidupan.
 Hingga jadilah mereka pengemis disana selama 6 bulan berikutnya.

Pada suatu Hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik, sang ibu bangkit dan memutuskan untuk bekerja.
Persoalan nya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini
sudah hampir 2 tahun,yang tampak amat cantik. Kelihatannya tidak
ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar
nasib tidak memperburuk keadaan mereka.

Suatu pagi ia berpesan pada anaknya, agar anak tidak pergi kemana-mana,
tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau yang menawarkan gula-
gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat.
Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang
ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar
tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya,
di sebelahnya

Sang ibu meletakkan sepotong roti, kemudian, dengan Mata basah ibu itu
menuju kepabrik sepatu, dimana ia bekerja sebagai pemotong kulit.
Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga dikantong
sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di
daerah kumuh tsb.

Dengan suka cita sang Ibu menuju ke penginapan orang-orang miskin
itu, membayar uang muka sewa kamarnya.

Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat
rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa. Mereka membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota . Di situ mereka
mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya,
menyisir rambutnya dan membawanya kesebuah rumah mewah dipusat kota .

Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri
dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun
mereka telah menikah selama 18 tahun.

Suami istri dokter tsb memberi nama anak gadis itu Serrafona, mereka
sangat menyayangi dan mencintai Serrafana.  Di tengah-tengah kemewahan istana, gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga,
menulis puisi Dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia
pergi. Begitulah hari-hari hidupnya sebagai anak kaya. Dan waktu pun terus berputar. Satu peristiwa yang baru terjadi menyusul hal lainnya. Hingga mengantarnya umur umurnya ke-24 tahun. Serrafona dikenal sebagai anak gadis orang kaya yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah
figur gadis yang menjadi impian setiap pemuda, dan akhirnya, cintanya direbut oleh seorang dokter muda tampan, yang bernama Geraldo.

Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, Dan Serrafona
beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan Dan sebuah real-estate
sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang
paling megah di kota Itu.

Menjelang Hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang
merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan
kamar mendiang Ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di
laci meja kerja ayahnya, ia menemukan selembar foto seorang anak bayi
yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk
menggendong bayi itu lusuh, kumal, kotor dan bayi itu sendiri tampak tidak
terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya
tetap kusam. Di telinga kiri bayi itu membuat jantungnya
berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar Dan mengkonsentrasikan
pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya
sendiri, Dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak
yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang
pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi.
Tapi diantara benda-benda mewah itu tampak sesuatu yang terbungkus
oleh kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat
sederhana, ringan dan bukan terbuat dari emas murni.

Almarhum ibu memberinya benda itu dengan pesan untuk tidak
menghilangkan nya. Ia sempat bertanya, kalau itu anting, dimana
pasangannya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya.

Serrafona menaruh anting itu didekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan
seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya
berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah
dirinya sendiri.

Tapi kedua pria-wanita yang menggendongnya, dengan senyum yang dibuat-
buat, belum pernah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka
pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengkungkungi
pertanyaan-pertanyaan tentanag dirinya, kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan
wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah
ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam,
berkilat dibenaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan
mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan
betapa dingin sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya
kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia
seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada
berpisah lebih baik mereka mati bersama.

Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri
suaminya, "Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkin
kah ibu sekarang masih ada di jalan setelah 25 tahun?"
Ini semua adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna.
Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan
disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak satu-
satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu,
Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan,
penerbit surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-
yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo
dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang
seorang wanita.

Bulan demi bulan telah berlalu, tapi tak ada perkembangan apapun dari
usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu dinegeri
dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya
yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan
pencarian.

Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh,
sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap
agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa
mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu, entah
bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang.

Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya
mengangguk-angguk penuh pengertian. Saat itu waktu sudah memasuki masa menjelang Natal Seluruh negeri bersiap untuk menyambut hari kelahiran Kristus, dan
bahkan untuk kasus Serrafona-pun, orang tidak lagi menaruh perhatian
utama.
Melihat pohon-pohon terang mulai menyala disana-sini,
mendengar lagu-lagu Natal mulai dimainkan ditempat-tempat umum, Serrafona menjadi amat sedih.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, saya bukannya tidak berniat
merayakan hari lahirmu, tapi ijinkan saya untuk satu permintaan
terbesar dalam hidup ini 'temukan saya dengan ibu' ". Tuhan mendengarkan doa itu.

Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang
mungkin bisa membantu mereka menemukan Ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ketempat wanita itu berada yg ada sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat,  Serrafona tahu bahwa wanita separoh buta
itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto itu. Dengan
suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri
seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga
wanita itu sejumlah uang dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.
Sesampai di sana, Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang
mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa Ibunya masih hidup dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. "Tuhan Maha Kasih nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah
menemukan ibu nyonya, hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak
terlalu banyak lagi." Maka segera mekera berpacuh dengan waktu. Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, di pinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah disepanjang
jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Tanpa terasa mereka semakin masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.

Tubuh Serrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan
itu. "Cepat, Serrafonna, mama menunggumu, sayang".

Ia mulai berdoa: "Tuhan beri saya setahun untuk melayani mama. Saya
akan melakukan apa saja untuknya".

Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa
membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: "Tuhan beri saya
sebulan saja". Mobil masih berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil,
dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka.

Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: "Tuhan,
kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling
memanjakan".

Ketika mereka masuk dibelokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu
hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los
Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak
dari sisi ke sisi, dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah jalan itu, di
depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-
kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua
dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak.

Mobil mereka berhenti. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang
segera memenuhi tempat itu.

"Belum bergerak dari tadi." Lapor salah seorang.

Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih
kesadarannya dan turun dari Mobil, suaminya dengan sigap sudah
meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.

"Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu."

Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingatan semasa kecilnya
kembali menerawang saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan kembali terlintas bayangan ketika ia mulai belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya.

Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan
sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat
untuk mendekat.

"Tuhan", ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, "Beri kami
sehari,Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan
memberinya tahu bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia.
Sehingga mama tidak sia-sia pernah merawat saya".

Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya, wanita tua itu
perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan
orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang
mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti
wajahnya sendiri disaat ia masih muda.

"Mama....", ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang selama
ini ditunggunya tiap malam dan seiap hari - antara sadar dan tidak
kini menjadi kenyataan.

Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya
yang akan lepas, dengan perlahan ia membuka genggaman tangannya,
tampak sebuah anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk dan
menyadari bahwa itulah pasangan anting yang selama ini dicarinya dan
tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan
merebahkan kepalanya di dada mamanya.


"Mama, saya tinggal di istana dengan makanan enak setiap hari. Mama jangan pergi, Kita bisa lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur apapun juga........ Mama jangan pergi....... ."

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa
lagi kepada Tuhan: "Tuhan Maha Pengasih dan Pemberi, Tuhan..... satu
jam saja.......satu jam saja....."

Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan
orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir
sia-sia.
“Jalan itu bernama Los Felidas. Di jalan ini kita berpisah tuk sementara; di sini pula kita berpisah tuk semalamnya.”

SELAMT NATAL ....!!!

di ubah dari:
http://kuschelbuffalo.multiply.com/reviews/item/1
-------
Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan
mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Mat 7:7